Tujuan Hukum Pidana
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
- Untuk membuat efek jera kepada pelaku.
- Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik
menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya.
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap
gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang
sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah
ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia
dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam
kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak baik yang
kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai
akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab
timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh
“kriminologi”.
Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa
sampai seseorang melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai
dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang
membantu hukum pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai
salah satu ilmu yang membantu hukum pidana bertugas mempelajari
sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya,
bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk
meniadakan perbuatan itu.
Klasifikasi Hukum Pidana
Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum pidana
Dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung
larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya
diancam dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama,
yaitu:
- Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang menentukan
perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan
hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang
merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan
cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu
Kriminologi dan lain sebagainya.
- Hukum Formil (Hukum Acara Pidana)
Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara
merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materil)
itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang
memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum
materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara
pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara
ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya
memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah
yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak
waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari
prosedur tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan
perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga
pelaksanaan peradilannnya.”. Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum
Acara Pidana meliputi:
- Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum atasnya dengan beragam tingkatannya.
- Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
- Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan
kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya,
dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global
sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan
kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab
itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan
yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan
antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku
pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika
memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan
ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus
benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius
Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang”.